Kasus Transaksi Derivatif PT. Indosat Tbk.
Pada
laporan keuangan periode 2006, PT. Indosat melaporkan adanya kerugian sebesar
Rp 438 miliar yang di klaim sebagai ”Rugi dari perubahan nilai wajar atas
transaksi derivatif-bersih” (Loss on Change in Fair Value of Derivatifes-Net).
Pengakuan atas kerugian ini muncul karena perusahaan tidak menerapkan PSAK
sebagaimana mestinya.
Dalam
PSAK no 55 ”Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktifitas Lindung Nilai”
disebutkan bahwa transaksi derivatif mensyaratkan adanya dokumentasi formal
atas analisa manajemen resiko dan analisa efektifitas transaksi jika ingin
melindungi resiko dari transaksi derivatif ini. Selain itu suatu entitas
diwajibkan pula untuk melaporkan setiap transaksi derivatif paling tidak setiap
tiga bulan dalam laporan keuangan perusahaan.
Dalam
surat yang ditujukan kepada manajemen Indosat (management letter) pada tahun
2004, 2005 dan 2006, auditor eksternal Indosat menyarankan pihak manajemen
Indosat untuk segera membenahi kebijakan formal manajemen resiko yang berkaitan
dengan transaksi derivatif yang dilakukan oleh Indosat sebesar US$ 275 juta
atau sekitar Rp 2,5 trilliun. Transaksi derivatif ini meliputi 17 kontrak
perjanjian dengan berbagai institusi keuangan.
Kasus
ini memberikan contoh dari besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh
perusahaan di Indonesia diakibatkan tidak adanya analisa yang memadai terhadap
transaksi derivatif yang akan dilakukan. Akibat kerugian ini pula negara
kehilangan potensi pajak baik atas laba bersih perusahaan maupun atas deviden
yang dibagikan.
Pembahasan
Pada
kasus pelanggaran prosedur oleh KAP, menunjukkan bahwa akuntan publik masih
rentan terhadap isu profesionalitas dalam pekerjaannya. Dilema yang dihadapi
akuntan publik terjadi ketika ada benturan antara kepentingan klien dengan
independensi auditor itu sendiri. Salah satu yang menjadi penyebab adalah fee
audit yang dibayarkan oleh klien. Di satu sisi auditor ingin agar audit yang
dilakukannya sesuai dengan prosedur dan standar yang ditetapkan serta tidak
melanggr kode etik profesi, namun di sisi lain auditor juga dituntut nleh klien
yang membayarnya agar diberikan kemudahan dan hasil yang sesuai dengan
keinginan klien. Dilema ini bisa terjadi pada semua KAP. Sebagaimana diketahui,
laporan auditor independen saat ini dijadikan sebagai syarat dalam berbagai
kondisi seperti dalam hal pengajuan kredit/pembiayaan dari bank, syarat dalam
mendaftar menjadi perusahaan terbuka (go public), dan lain-lain.
Kesimpulan
Pentingnya pendidikan etika profesi
bagi para akuntan sebagai bekal dalam menghadapi potensi kecurangan pelanggaran etika akan terus terjadi
jika tidak ada pemahaman yang mendalam dari akuntan terhadap pentingnya untuk
memegang teguh etika profesi. Bisa jadi mereka tidak mengetahui dampak yang
ditimbulkan oleh kecurangan yang mereka lakukan. Salah satu cara untuk menekan
jumlah akuntan yang menyimpang serta menanamkan kesadaran akan pentingnya
menerapkan kode etik profesi adalah dengan melakukan sosialisasi intensif tentang
profesionalitas dan kode etik akuntan dalam lingkungan kerja. Misalnya, secara
rutin IAI sebagai lembaga akuntan terbesar di Indonesia menyelenggarakan
pelatihan dan seminar untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran terhadap kode
etik profesi kepada anggotanya. Agar lebih efektif, kegiatan semacam ini juga
dapat dilakukan di tingkat pendidikan baik dari tingkat SMP, SMA hingga ke
tingkat Perguruan Tinggi. Caranya adalah dengan memberikan mata ajaran atau
mata kuliah tentang etika bisnis dan profesi, akuntansi forensik dan deteksi
kecurangan, seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya Malang. Sebagaimana diketahui, para calon akuntan juga merupakan
anggota luar biasa dari IAI. Dengan adanya pendidikan yang intensif kepada
calon akuntan ini, maka diharapkan tindakan kecurangan dan penyimpangan dalam
etika profesi dan bisnis di masa mendatang dapat berkurang dan citra profesi
akuntan akan menjadi lebih baik lagi.
Kompetensi
dalam profesi akuntan memang sangat penting namun etika profesi juga tidak
kalah pentingnya. Tidak heran jika lembaga IAI, IAPI, maupun IAMI memiliki kode
etik dan sertifikasi untuk menjaga citra anggotanya. Pendidikan serta
sosialisasi intensif untuk menumbuhkan kesadaran akan kode etik profesi perlu dilakukan
karena potensi kecurangan dalam lingkungan kerja akan selalu ada. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran etika maupun
kecurangan oleh akuntan. Dengan akuntan yang berkompeten dan juga beretika,
maka profesi akuntan yang lebih baik dalam mewujudkan good corporate governance
(GCG) di Indonesia dapat segera terwujud. Kita tidak boleh lupa bahwa profesi
akuntan ini dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas, dan tidak hanya
internal perusahaan saja.