Selasa, 11 Oktober 2016

kasus pelanggaran etika profesi akuntansi

Kasus Transaksi Derivatif PT. Indosat Tbk.
Pada laporan keuangan periode 2006, PT. Indosat melaporkan adanya kerugian sebesar Rp 438 miliar yang di klaim sebagai ”Rugi dari perubahan nilai wajar atas transaksi derivatif-bersih” (Loss on Change in Fair Value of Derivatifes-Net). Pengakuan atas kerugian ini muncul karena perusahaan tidak menerapkan PSAK sebagaimana mestinya.
Dalam PSAK no 55 ”Akuntansi Instrumen Derivatif dan Aktifitas Lindung Nilai” disebutkan bahwa transaksi derivatif mensyaratkan adanya dokumentasi formal atas analisa manajemen resiko dan analisa efektifitas transaksi jika ingin melindungi resiko dari transaksi derivatif ini. Selain itu suatu entitas diwajibkan pula untuk melaporkan setiap transaksi derivatif paling tidak setiap tiga bulan dalam laporan keuangan perusahaan.
Dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Indosat (management letter) pada tahun 2004, 2005 dan 2006, auditor eksternal Indosat menyarankan pihak manajemen Indosat untuk segera membenahi kebijakan formal manajemen resiko yang berkaitan dengan transaksi derivatif yang dilakukan oleh Indosat sebesar US$ 275 juta atau sekitar Rp 2,5 trilliun. Transaksi derivatif ini meliputi 17 kontrak perjanjian dengan berbagai institusi keuangan.
Kasus ini memberikan contoh dari besarnya kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan di Indonesia diakibatkan tidak adanya analisa yang memadai terhadap transaksi derivatif yang akan dilakukan. Akibat kerugian ini pula negara kehilangan potensi pajak baik atas laba bersih perusahaan maupun atas deviden yang dibagikan.

Pembahasan
Pada kasus pelanggaran prosedur oleh KAP, menunjukkan bahwa akuntan publik masih rentan terhadap isu profesionalitas dalam pekerjaannya. Dilema yang dihadapi akuntan publik terjadi ketika ada benturan antara kepentingan klien dengan independensi auditor itu sendiri. Salah satu yang menjadi penyebab adalah fee audit yang dibayarkan oleh klien. Di satu sisi auditor ingin agar audit yang dilakukannya sesuai dengan prosedur dan standar yang ditetapkan serta tidak melanggr kode etik profesi, namun di sisi lain auditor juga dituntut nleh klien yang membayarnya agar diberikan kemudahan dan hasil yang sesuai dengan keinginan klien. Dilema ini bisa terjadi pada semua KAP. Sebagaimana diketahui, laporan auditor independen saat ini dijadikan sebagai syarat dalam berbagai kondisi seperti dalam hal pengajuan kredit/pembiayaan dari bank, syarat dalam mendaftar menjadi perusahaan terbuka (go public), dan lain-lain.

Kesimpulan
Pentingnya pendidikan etika profesi bagi para akuntan sebagai bekal dalam menghadapi potensi kecurangan pelanggaran etika akan terus terjadi jika tidak ada pemahaman yang mendalam dari akuntan terhadap pentingnya untuk memegang teguh etika profesi. Bisa jadi mereka tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh kecurangan yang mereka lakukan. Salah satu cara untuk menekan jumlah akuntan yang menyimpang serta menanamkan kesadaran akan pentingnya menerapkan kode etik profesi adalah dengan melakukan sosialisasi intensif tentang profesionalitas dan kode etik akuntan dalam lingkungan kerja. Misalnya, secara rutin IAI sebagai lembaga akuntan terbesar di Indonesia menyelenggarakan pelatihan dan seminar untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran terhadap kode etik profesi kepada anggotanya. Agar lebih efektif, kegiatan semacam ini juga dapat dilakukan di tingkat pendidikan baik dari tingkat SMP, SMA hingga ke tingkat Perguruan Tinggi. Caranya adalah dengan memberikan mata ajaran atau mata kuliah tentang etika bisnis dan profesi, akuntansi forensik dan deteksi kecurangan, seperti yang dilakukan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang. Sebagaimana diketahui, para calon akuntan juga merupakan anggota luar biasa dari IAI. Dengan adanya pendidikan yang intensif kepada calon akuntan ini, maka diharapkan tindakan kecurangan dan penyimpangan dalam etika profesi dan bisnis di masa mendatang dapat berkurang dan citra profesi akuntan akan menjadi lebih baik lagi.
Kompetensi dalam profesi akuntan memang sangat penting namun etika profesi juga tidak kalah pentingnya. Tidak heran jika lembaga IAI, IAPI, maupun IAMI memiliki kode etik dan sertifikasi untuk menjaga citra anggotanya. Pendidikan serta sosialisasi intensif untuk menumbuhkan kesadaran akan kode etik profesi perlu dilakukan karena potensi kecurangan dalam lingkungan kerja akan selalu ada. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran etika maupun kecurangan oleh akuntan. Dengan akuntan yang berkompeten dan juga beretika, maka profesi akuntan yang lebih baik dalam mewujudkan good corporate governance (GCG) di Indonesia dapat segera terwujud. Kita tidak boleh lupa bahwa profesi akuntan ini dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas, dan tidak hanya internal perusahaan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar